Metode Ijtihad Imam Empat Madzhab, Madzhab Syi’ah dan
Madzhab Dzahiri
1.MADZHAB
HANAFI (80-150 H/ 699-767 M)

1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasulullah dan atsar yang
shahih yang diriwayatkan orang tsiqah.
3. Ijma sahabat. Apabila yang
di carinya tidak di temui pada kedua sumber utama, Imam Hanafi berpegang kepada
ijma' sahabat yaitu ketika ia mendapati semua sahabat mempunyai pendapat yang
sama dalam suatu masalah. Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih salah
satu pendapat yang paling dekat menurutnya kepada Al-Qur'an dan sunnah dan
meninggalkan pendapat yang lain.
4. Qiyas. Apabila beliau tidak menemukan hukum
di dalam Qur'an, Hadits, dan Ijma' sahabat, beliau melakukan ijtihad dengan
menggunakan qiyas terlebih dahulu.
5. Istihsan.Bila ada pertimbangan khusus, beliau
meniggalkan qiyas dan melakukan istihsan.
6. Qaul
sahabat, apabila
ada ikhtilaf, aku akan mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki dan aku
tidak akan berpindah dari pendapat satu ke pendapat sahabat lain.
7. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim,
Sya’bi dan Ibn Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad.
8. 'Urf.
Metode ijtihad
yang terakhir yang di pergunakan oleh Imam Hanafi
Metode ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan.
Ø Dilalah lafadz ‘am adalah qath’i,
seperti lafadz khash
Ø Pendapat sahabat yang tidak sejalan
dengan pendapat umum adalah bersifat khusus
Ø Banyaknya yang meriwayatkan tidak
berarti lebih kuat (rajih)
Ø Adanya penolakan terhadap mafhum
(makna tersirat) syarat dan sifat
Ø Apabila perbuatan rawi menyalahi
riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan riwayatnya
Ø Mendahulukan qiyas jali atas khabar
ahad yang dipertentangkan
Ø Menggunakan istihsan dan
meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
Contoh Pendapat Abu Hanifah:
Perempuan boleh menjadi hakim di
pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkata
pidana.Alasannya, karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana,
perempuan hanya dibenarkan menjadi sanski perkara perdata.Karena itu menurutnya
perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani perkara perdata.Dengan
demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah qiyas dengan menjadikan
kesaksian sebagai ashl dan menjadikan hakim sebagai far’i.
Kitab rujukan Madzhab Hanafi
Masalah-masalah fiqh yang terdapat
dalam Madzhab Hanafi dibedakan menjadi tiga, yaitu:
·
Al-Ushul,
yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir riwayah, yaitu pendapat yang
diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad.
Adapun kitab yang termasuk zhahir riwayah ada enam buah, yaitu al-Mabsuth atau
al-Ashl, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar
al-Shaghir dan al-Ziyadat.
·
Al-Nawadir, yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah
dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam zhahir riwayah.
·
Al-Fatawa, adalah pendapat-pendapat para pengikut Abu Hanifah
(Hanafiyah), yang tidak diriwayatkan dari Abu Hanifah,
2.MADZHAB MALIKI

Dalam
proses Istinbath al-Ahkam Imam Malik menempuh cara sebagai berikut:
1)
Mengambil dari al-Qur’an
2)
Menggunakan “zhahir” al-Qur’an, yaitu lafadz umum.
3)
Menggunakan “dalil” al-Qur’an, yaitu mafhum muwafaqah
4)
Menggunakan “mafhum” al-Qur’an yaitu mafhum mukhalafah
5)
Menggunakan “tanbih” al-Qur’an, yaitu memperhatikan illat.
Dalam Madzhab Maliki lima langkah di
atas disebut sebagai Ushul Khamsah, langkah berikutnya adalah: ijma’,
qiyas, amal penduduk Madinah, istihsan, sadz dzara’i, mashlahah mursalah, qaul
shahabi, mura’at al-khilaf, istishhab dan syar’u man qablana. Sementara itu
salah satu penerus Madzhab Maliki yaitu al-Syathiby menjelaskan bahwa dalil
hukum bagi Madzhab Maliki adalah al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan Qiyas.Salah
satu dalil hukum yang sering dijadikan oleh Imam Malik adalah Ijma’ ulama
Madinah.Beliau lebih mengutamakan ijma’ dan Amal ulama Madinah daripada qiyas,
khabar ahad dan qaul shahabat.
Kitab
rujukan Madzhab Maliki
Kitab utama yang menjadi rujukan
Madzhab Maliki:
1) Al-Muwaththa’ karya imam malik.
2) Al-Mudawwanah al-Kubra karya
Abdussalam Tanukhi.
3) Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayat
al-Muqtashid karya Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi.
4) Fath al-Rahim ‘ala Fiqh al-Imam
Malik bi al-Adillah karya Muhammad ibn Ahmad.
5) Al-I’tisham karya Abi Ishaq ibn Musa
al-Syathiby.
Adapun
kitab Ushul Fiqh dan Qawa’id al-Fiqh aliran Madzhab Maliki antara lain sebagai
berikut:
1) Syarh Tanqih al-Fushul fi Ikhtishar
al-Mahshul fi al-Ushul dan al-Furuq karya Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn
Idris al-Qurafi (w. 684 H)
2) al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam karya
Abi Ishaq ibn Musa al-Syathiby.
3) Ushul al-Futiya karya Muhammad ibn
al-Harits al-Husaini (w. 361 H)
Contoh pendapat Imam Malik
Ulama sepakat bahwa adzan shalat
dilakukan dua kali-dua kali, tetapi mereka berbeda pendapat tentang jumlah
jumlah qamat shalat. Menurut Imam Malik, qamat shalat dilakukan satu kali-satu
kali. Ketika ditanya tentang adzan dan qamat yang dilakukan dua kali-dua kali,
imam malik menjawab, “Tidak sampai kepadaku dalil tentang adzan dan qamat
salat,aku hanya mendapatkannya dari amal manusia… qamat shalat dilakukan satu
kali-satu kali. Itulah yang senantiasa dilakukan oleh ulama dinegeri kami.
(Ijma’ Ulama Madinah)
3.MADZHAB
SYAFI’I

Cara ijtihad Imam Syafi’i secara
umum yaitu berdasarkan:
1) Al-Qur’an dan al-Sunnah
2) Ijma’terhadap sesuatu yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijma’ lebih diutamakan atas khabar
mufrad.
3) Qaul sebagian sahabat tanapa ada
yang menyalahinya.
4) Pendapat sahabat nabi yang ikhtilaf.
5) Qiyas terhadap al-Qur’an dan
al-Sunnah.
6) Apabila hadits telah muttashil dan
sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha).
7) Makna dzahir hadits diutamakan. Ia
menolak Hadits munqathi’, kecuali yang diriwayatkan oleh Ibn Musayyab.
8) Pokok (al-Ashl) tidak boleh
diqiyaskan kepada pokok. Bagi pokok, tidak perlu dipertanyakan mengapa dan
bagaimana, keduanya itu yaitu mengapa dan bagaimana hanya boleh dipertanyakan
kepada cabang (furu’).
9) Qiyas dapat menjadi hujjah jika
pengqiyasannya benar.
Kitab rujukan Madzhab Syafi’i
Kitab al-Umm, al-Risalah, Musnad
Imam Syafi’i, al-Hujjah dan al-Mabsuth, kesemuanya merupakan karya al-Syafi’i

Ø Tertib dalam wudhu Orang yang
wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah Orang yang wudunya tidak tertib
meskipun karena lupa adalah tidak sah
Ø Menyentuh dubur tidak membatalkan
wudhu
Ø Shalat isya lebih utama dilaksanakan
dengan segera (ta’jil) Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan
diakhirkan (ta’khir)
Ø Waktu pengeluaran zakat fitrah.
Zakat fitrah wajib pada hari idul fitri setelah terbit fajar (waktu subuh tiba)
Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada malam hari idul fitri setelah matahari
terbenam (waktu maghrib tiba)
Ø Meninggalkan bacaan Fatihah karena
lupa Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah karena lupa,
salatnya adalah sah Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah
karena lupa shalatnya tidak sah, jika yang bersangkutan ingat atau sesudahnya
sebelum berdiri yang kedua, ia kembali berdiri dan membaca al-Fatihah ketika
berdiri tersebut apabila yang bersangkutan baru teringat pada rakaat kedua,
maka rakaat tersebut dianggap sebagai rakaat pertama. Apabila yang bersangkutan
baru teringat setelah salam, maka shalatnya wajib diulangi.
Ø Tayammum dengan pasir. Seseorang
dibolehkan tayammum dengan pasir Seseorang tidak dibolehkan tayammum dengan
pasir.
Ø 4.MADZHAB HANBALI

Ibnu
Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal di
bangun atas lima dasar, yaitu sebagai berikut:
1. Al-Nushush dari al-Qur’an dan
al-Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dari keduanya, ia berpendapat sesuai
dengan makna tersurat (manthuq), sementara makna tersiratnya (mafhum)
ia abaikan.
2. Apabila tidak ditemukan dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah, ia menukil fatwa sahabat dan memilih pendapat sahabat
yang disepakati sahabat lainnya.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda,
ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah.
4. Menggunakan hadits mursal dan
dha’if, apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijma
yang menyalahinya.
5. Apabila hadits mursal dan dha’if
sebagaimana disyaratkan di atas tidak didapatkan, ia menganalogikan (mengqiyaskan).
Dalam pandangannya qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
6. Langkah terakhir adalah menggunakan Sadz
al-dzara’i.
5.MADZHAB
SYIAH
Menurut Beik dalam mazhab Syiah istilah ijtihad
sama maknanya dengan istinbath, yakni proses menyimpulkan hukum dari
teks al-Quran dan Sunnah sebagai dua sumber utama hukum Islam. Hanya sedikit
berbeda dengan makna kata istilah ijtihad di madzhab lain
(Ahlussunah) yang biasanya digunakan untuk menetapkan sebuah hukum sebagai
solusi atas sebuah masalah yang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Quran atau
Sunnah berdasarkan Qiyas¸Istihsan, Mashalih Al Mursalah, Saddu Adz Dzariah dan
Maqashid Asy Syariy’ah.
Lebih jauh beliau menegaskan al-Quran adalah sumber utama
dalam mazhab Syiah dalam menetapkan hukum Islam.
Kemudian yang kedua juga sama dengan madzhab lainnya yaitu
As Sunnah,
yakni segala sabda, perbuatan dan ketetapan Rasul saw. “
Hanya saja Syiah meyakini, bahwa sabda, perbuatan dan ketetapan Sayyidah
Fatimah, putri Nabi dan para Imam setelah Nabi dari keturunannya yang berjumlah
12 juga berkedudukan seperti Sunnahi.
Sumber ketiga di dalam mazhab Syiah, adalah ijma’.
Namun memiliki perbedaan makna, karena Syiah meyakini, bahwa
ijma’ para ulama yakni kesamaan para ulama setiap zaman dalam berfatwa itu
meniscayakan adanya dalil yang tidak sampai kepada mujtahid di zaman ini,
karena itu ijma’ bukanlah dalil mandiri, ia tidak lain adalah sunnah itu
sendiri.
Sumber ke empat, adalah akal.
Ini juga berbeda dengan madzhab lain yang menggunakan
metode qiyas¸ istihsan, mashalih al-mursalah, saddu adz dzariah dan
maqashid asy syariy’ah. Walaupun dalam banyak hal hasil dari kedua
metode yang berbeda ini adalah sama. “Karena yang dimaksudkan oleh akal itu
adalah metode berfikir yang logis yang biasanya dibangun di atas sebuah deduksi
atau silogisme.
Sebagai contoh hukum penyalahgunaan narkoba itu adalah
haram, karena memabukkan dan merusak kesehatan tubuh di dalam metode ijtihad
Ahlussunah adalah didasarkan pada qiyas, yakni disamakan hukumnya dengan
khamr yang jelas disebutkan sebagai sesuatu yang haram dan
memiliki kesamaan dalam hal memabukkan dan merusak kesehatan. Di dalam metode
deduksi logis, maka disusunlah premis sebagai berikut: Narkoba memabukkan
dan merusak kesehatan, Setiap yang memabukkan dan merusak kesehatan hukumnya
haram, maka Narkoba hukumnya haram.
Selain empat sumber hukum di atas, seorang mujtahid dalam
Syiah di saat tidak menemukan dalil untuk menetapkan sebuah masalah, maka
mereka merujuk pada penerapan beberapa kaedah yang sebagian besarnya diyakini
juga oleh Ahlussunah, kaedah-kaedah itu disebut dengan ushul ‘amaliyah,
hanya saja ia tidak menghasilkan produk hukum, ia hanya menjelaskan sikap
seorang mukallaf untuk keluar dari sebuah problema.
Dalam madzhab Syiah, menerangkan sama dengan madzhab
yang lain mewajibkan seorang mufti atau yang memiliki otoritas berfatwa adalah
seorang muslim, baligh, berakal dan memiliki kemampuan dalam berijtihad serta
memiliki sifat ‘adalah, yakni tingkat ketakwaan yang sudah mendarah
daging menjadi karakter dirinya (malakah), sehingga mudah (terbiasa) melakukan
ketaatan dan meninggalkan maksiat.
Hanya saja yang membedakan dalam tradisi Syiah dan
Ahlussunah, adalah jenjang pendidikan dan ijazah ijtijhad yang diberikan oleh
seorang guru (syaikh).Dalam tradisi Syiah khususnya di Iran dan Irak masih
berlaku sistem pendidikan tradisional yang disebut dengan hauzah. Di
sini seorang santri wajib menguasai berbagai disiplin ilmu, di antaranya Bahasa
Arab beserta tata bahasanya, sastra Arab, tafsir, ulumul Quran, hadits, rijaal,
mushthalah hadits, manthiq, ushul fikih dan fikih perbandingan madzhab-madzhab
dalam Islam dan sebagian juga menambahkan filsafat dan Irfan (tasawwuf).
Semua disiplin ilmu itu memiliki kitab standard dari tingkat
permulaan hingga paling tinggi. Pada saat menyelesaikan semua tingkatan
itu, maka ia berhak mengikuti ujian dan jika lulus mendapatkan surat kesaksian
bahwa ia telah memiliki kemampuan Ijtihad, dan umumnya dijuluki dengan Hojjatul
Islam Wal Muslimin. “Namun dia masih berhak untuk mengamalkan hasil
ijtihadnya untuk dirinya dan tidak untuk orang lain.
5.MADZHAB
DZAHIRI
METODE
IJTIHA dan PENETAPANNYA
Beliau berpendapat, bahwa nash-nash yang dipergunakan oleh
ahlur ra'yu dalam memandang qiyas sebagai dasar hukum, adalah berguna di waktu
tidak ada sesuatu nash dari kitabullah atau sunnah rasul dan beliau
berpendapat, bahwa apabila kita tidak memperoleh nash dari al-qur'an dan
sunnah, maka hendaklah kita memusyawarahkan hal itu dengan para ulama, bukan
kita berpegang kepada ijtihad sendiri.
Madzhab beliau ini di kenal dengan nama madzhab ad-dzahiri,
karena beliau berpegang kepada dzhahir al-qur'an dan assunnah, tidak menerima
ada ijma' kecuali ijma' yang diakui oleh semua ulama. Walaupun madzhab ini pada
dasarnya berpegang pada dzahir nash, tetapi kita dapat menjumpai beberapa teori
barat, karena dalam madzhab inilah kita jumpai pendapat yang menetapkan bahwa
istri yang berharta wajib menafkahi suaminya yang fakir.
No comments:
Post a Comment