Kata
Pengantar
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga Kepada kami baik nikmat iman maupun Islam.
Sehingga, kami dapat menyusun makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap
terlimpah pada junjungan kita Nabi Allah Muhammad saw yang mana beliaulah tokoh
revolusioner Islam yang telah mampu menuntun umatnya dari zaman jahiliyah
menuju Islamiyah seperti yang kita rasakan saat ini dan yang insayallah kita
nanti-nantikan syafa’atnya di yaumil kiyamah kelak amin.
Dalam makalah tentang “Mukhkam dan Mutasyabih” ini, kami mencoba menjelaskan apa yang
dimaksud dengan ayat-ayat Mukhkamat dan ayat-ayat Mutasyabih.
Dalam penulisan makalah ini kami sudah berusaha
semaksimal mungkin, tentunya masih banyak kekurangan. Hal itu disebabkan oleh
kelemahan kami. Adapun kebaikan yang terdapat di dalamnya, tiada lain karena
taufik dan hidayah dari Allah Swt.
Sukoharjo,
22 September 2012
Penulis
Kelompok IX
Pendahuluanhttp://zeinzariefin.blogspot.com/
Dalam
perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan
prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam
Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan
realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru
bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan
Hadits Nabi.
Di antara
metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari’ah
dan fath adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan
upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif.
Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual
Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan
dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam
tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga
yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung
mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika
suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah),
maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode
hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Sebaliknya,
jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain
yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal
inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
B.
Definisi Ushul Fiqh
Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang
terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti
“paham yang mendalam”. Kata ini muncul sebanyak 20 kali dalam al-Qur’an dengan
arti paham itu, misalnya dalam (QS. Al-Kahfi : 93)
.....
Èyy`ur
ÆÏB
$yJÎgÏRrß
$YBöqs%
w
tbrß%s3t
tbqßgs)øÿt
Zwöqs%
ÇÒÌÈ
...dia
mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti
pembicaraan.
Arti yafqahuna dalam
ayat :”mereka memahami”.
Arti fiqh dari segi istilah adalah “Ilmu tentang hukum-hukum syara’yang bersifat amaliyah yang digali dan
dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”.
Kata
“ushul”yang merupakan jamak dari kata “ashal”( أ صل) secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi
dasar yang lainya”. Dengan demikian “ushul fiqh“ secara istilah teknik hukum
berarti: “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang
membawa pada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terperinci,” atau
dalam artian sederhana adalah: “kaiadah-kaidah
yang menjelaskan cara-cara menjeluarkan hukum-hukum dan dalil-dalinya”.
[PROF. DR. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1,(Jakarta : Logos
Wacana Ilmu 1997) hlm.35].
kitab-kitab ushul
fiqh :
a.
Al-Mu’tamad karangan
Muhammad Husayn ibn Ali Bashryi (wafat 463H)
b.
Al-Burhan karangan Imam
al-Haramayn (wafat 487H)
c.
Al-mustashfa karangan
al-Ghazaliy (wafat 505H)
a. Kitab Ushul Abu Bakar Ahmad al-Jashash
(wafat 370H)
b. Kitab Zayd ‘Ubayd Allahh ibn ‘Umar
(wafat 430H)
c. Kitab Syams al-A’immah ibn Ahmad
al-Sarkhasyiy (wafat 483H)
Selain itu, adapula kitab-kitab
yang ditulis menggunakan cara dua aliran tsb.
a.
Badi’ al-Nidham karangan
Ahmad bin Ali al-Baghdadi (wafat 694H)
Kitab-kitab yang terkhir
diantaranya
a.
Ushul al-fiqh karangan
Syaikh Muhammad Khudlariy Bayk.
Buku ushul fiqh yang ditulis dalam
bahasa indonesia antara lain:
a. Ushul
al-fiqh karangan A.Hanafi, M.A.
[PROF. DRs. H.A.
DJAZULI & Dr. I. NUROL AEN, M.A. Ushul
Fiqh Metodologi Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada 2000)hlm.7-12]
B. TUJUAN MEMPELAJARI USHUL FIQH
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul
fiqh ialah untuk mengetahui hukum-hukum syari’at Islam dengan jalan yakin
(pasti) atau dengan jalan dzan (dugaan atau Perkiraan) dan untuk menghindari
taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasarnya). Hal ini dapat
berlaku, kalau memang benar-benar ushul fiqh ini digunakan sebagaimana
mestinya, yaitu mengambil hukum dari
soal-soal cabang kepada yang pokok atau mengembalikan dari yang cabang kepada
yang pokok. Yang pertama adalah perkerjaan ahli ijtihad (mujtahid) dan yang
kedua adalah pekerjaan muttabi.
Dengan
adanya faedah tersebut, tertolaklah faham orang yang mengatakan, bahwa ushul
fiqh, adalah pekerjaan orang-orang terdahulu saja dalam mencari ketentuan suatu
hukum, dan bagi kita sekarang hanya mengikuti apa yang telah didapati mereka.
Pendapat ini tidak benar, sebab ta’lid adalah pekerjaan yang harus kita
hindari.
Setidak-tidaknya
kita harus bisa mencapai derajat ittiba’, yaitu mengikuti pendapat orang lain
dengan mengetahui dasarnya.
[A. Hanafie M. A. Ushul fiqh, (Jakarta:Widjaya 1981)hlm.13-14]
A.
PENGERTIAN DZRI’AH
Secara etimologis, dzari’ah (الذَّرِيْعَة)berarti “jalan yang menuju sesuatu.” Ada juga
yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada
yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Jauziyah
(691-751H/1292-1350H./ahli fiqh hanbali), mengatakan bahwa pembatasan
pengertian dzari’ah kepada suatu yang
dilarang saja tidak tepat, karena ada juga
dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya,
pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan
yang bersifat umum sehingga dzari’ah
mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang, disebut dengan sadd az-dzari’ah (سد الذريعة)
dan yang dituntut untuk dilaksanakan, fath
az-dzari’ahفطح الذ ر يعة) ).
Di bawah ini akan dikemukakan uraian kedua bentuk dzari’ah dimaksud.[Drs. H. Nasrun
Haroen, M.A. Ushul Fiqh (Jakarta:Logos
Publising House 1996)hlm.160-161]
a.
Sadd al-Dzari’ah
Kata sadd
menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata al-dzari’ah
berarti “wasilah”atau”jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd az-dzari’ah secara bahasa
berarti”menutup jalan kepada suatu tujuan”. Menurut istilah ushul fiqh, seperti
dikemukakan
a. ‘Abdul-Karim Zaidan, sadd az-dzari’ah berarti :
أنّه
من باب منع الو سائل المؤ دية الى المفاسد
Menutup
jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.[PROF.
Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A. Ushul
Fiqh, (Jakarta:Kencana 2008)hlm.172]
b. Menurut Imam Asy-Syatibi sadd
adz-dzari’ah adalah :
Sadd adz-dzari’ah
adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung
kemaslahatan, tetapi berakhir denga sesuatu kerusakan.
التّوصّل
بما هو مصلحة إلى مفسدة
“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula
mengandung kemaslahatan menuju pada sesuatu kerusakan (kemafsadatan)”.
c. Menurut Mukhtar Yahya dan
Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan
yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. (Mukhtar
Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347.)
d.
Menurut
al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah)
sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas
dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan
jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut.( Al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul,
loc. cit.)
[http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/#_ftnref1]
Contohnya, seseorang yang telah dikenai
kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia mengibahkan hartanya
kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. Hibbah (memberikan
sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat islam merupakan
perbuatan yang baik yang mengandung kemaslahatan. Akan tetapi, bila tujuannya
tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya
dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah wajib,
sedangkan hibbah adalah sunnah.
Imam asy-Syatibi menyebutkan
kriteria-kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
1.
Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
2.
Kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan.
3.
Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur
kemafsadatannya. (Wikipedia)
Sedangkan sadd
az-dzari’ah menurut para ahli ushul, adalah :
.............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
“Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan,
baik untuk menolak kerusakan
itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan sarana yang dapat menyampaikan
kepada kerusakan.”
Tujuan penetapan hukum atas dasar sadd az-dzari’ah ini ialah untuk menuju kemaslahatan. Karena tujuan
umum ditetapkanya hukum pada mukallaf adalah untuk kemaslahatan mereka dan
menjauhkan kerusakan. Untuk sampai tujuan itu adakalanyamelarang sesuatu. Dalam
larangan ada sesuatu perbuatan yang dilarang langsungdan adapula yang harus
melalui sarana.
Dalam larangan ada perbuatan yang dilarang langsung
karena perbuatan itu mendatangkan kerusakan, seperti melarang minuman khamr,
berbuat zina adakalanya dilarang sekalipun perbuatan itu sendiri tidak langsung
mendatangkan kerusakan, tetapi perbuatan itu menjadi jembatan terhadap
perbuatan yang secara langsung menimbulakan kerusakan, misalnya menyimpan khamr
atau berdua-duaan antara wanita dan laki-laki ditempat sunyi.
Larangan terhadap sarana yang mendatangkan pada perbuatan
yang dilarang itulah penetapan hukum berdasarkan pada sadd az-dzari’ah.
1. Dasar
Penetapan Sadd az-Dzari’ah
Penetapan seperti ini dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Misalnya pada firman Allah surat al-An’am : 108
wur (#q7Ý¡n@ úïÏ%©!$# tbqããôt `ÏB Èbrß «!$# (#q7Ý¡usù ©!$# #Jrôtã ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ .................. ÇÊÉÑÈ
. “dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan........
Yang maksudnya Allah melarang kaum Muslimin memaki
sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik/wasani, karena mereka nanti akan
memaki-maki Allah dengan melampui batas. Demikian dalam surat an-Nur : 31
................
wur
tûøóÎôØo
£`ÎgÎ=ã_ör'Î/
zNn=÷èãÏ9
$tB
tûüÏÿøä
`ÏB
£`ÎgÏFt^Î
4
(..................
ÇÌÊÈ
“................dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan..................” yang maksudnya Allah
melarang wanita-wanita menghentakkan kakinya diwaktu ia berjalan, karena itu
akan jadi sarana menampakkan perhiasan emas mereka dan akan menimbulkangejolak
hati laki-laki yang bukan haknya.
Ibn Qayyim al-jauziyah dalam kitabnya “I’lam al-muwaqin” menyebutkan bahwa Nabi
saw melarang membunuh orang munafik (sekalipun orang itu sangat berbahaya),
untuk menghindari sesuatu yang akan menimbulkan orang banyak menjauhi nabi saw
dan mereka berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.[ Drs. Zarkasji Abdul
Salam & Dras. Oman Fathurohman SW. Pengantar
Ilmu Fiqh Usul Fiqh,( Yogyakarta : Lembaga studi Filsafat Islam, 1994)hlm.123-124]
Secara
logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga
membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun
sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun
melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini
senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika
Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala
jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan
dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang
telah ditetapkan.”( Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, loc. cit.) [http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/#_ftnref1]
b.
Fadh al-Dzari’ah
Kebalikan dari sadd adz-dzari’ah adalah fath
adz-dzari’ah. yaitu perbuatan yang pada mulanya mengandung kemafsadatan menuju
kepada kemaslahatan.(Wikipedia)
Hal ini karena titik tolak yang digunakan adalah adz-dzari’ah.
Dalam mazhab Maliki dan Hambali, adz-dzari’ah memang ada yang
dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi
yang notabene dari mazhab Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari
mazhab Hambali. Adz-dzari’ah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu
disebut sadd adz-dzari’ah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan
sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath adz-dzari’ah.[ Al-Qarafi, Anwar al-Buruq., op.
cit., juz 3, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in,
loc. Cit ]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath
adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang
pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan
(istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut
bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau
diperintahkan.
Contoh dari fath adz-dzari’ah adalah bahwa jika
mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai
ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut
ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi
sarana untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan
menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa
betapapun adz-dzariah (sarana) lebih rendah tingkatannya daripada
perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana
tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.[ Al-Qarafi,
Anwar al-Buruq., ibid.]
Pembahasan tentang fath adz-dzariah tidak
mendapat porsi yang banyak di kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath
adz-dzariah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd adz-dzari’ah. Sementara
sadd adz-dzari’ah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai
metode istinbath hukum. Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di
kalangan ulama Syafi’iyyah, masalah sadd adz-dzari’ah dan fath
adz-dzari’ah masuk dalam bab penerapan kaidah:
ماَ لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ
وَاجِبٌ
Jika suatu kewajiban tidak
sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib
pula untuk dilaksanakan .[ Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 7, hal. 358]
Begitu pula segala jalan yang menuju kepada
sesuatu yang haram, maka sesuatu yang lain itu pun haram, sesuai dengan kaidah:
مادلّ
على حرام فهو حرام
“ segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram,
maka jalan itu pun haram”. Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan
wanita yang bukan muhrim atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa
perbuatan haram yaitu zina. Menurut jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan
wanita yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah
al-hurmah).(Wikipedia)
Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah
(pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini
pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama
terhadap kedudukan sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Apa
yang dimaksudkan adz-dzari’ah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata
bagi ulama Syafi’i adalah sekedar muqaddimah.
[http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/#_ftnref1]
PENUTUP
Sadd
adz-dzari’ah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat
hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan
baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat
yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan
menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang
hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan
demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
Daftar
Pustaka
Ø Wikipedia
Ø Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 7, hal. 358
Ø Drs.
Zarkasji Abdul Salam & Dras. Oman Fathurohman SW. Pengantar Ilmu Fiqh Usul Fiqh,( Yogyakarta : Lembaga studi Filsafat
Islam, 1994)hlm.123-124
Ø PROF.
Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A. Ushul
Fiqh, (Jakarta:Kencana 2008)hlm.172
Ø A.
Hanafie M. A. Ushul fiqh, (Jakarta:Widjaya
1981)hlm.13-14
Ø Drs.
H. Nasrun Haroen, M.A. Ushul Fiqh (Jakarta:Logos
Publising House 1996)hlm.160-161
Ø PROF.
DRs. H.A. DJAZULI & Dr. I. NUROL AEN, M.A. Ushul Fiqh Metodologi Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
2000)hlm.7-12
Ø PROF.
DR. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid
1,(Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997) hlm.35
No comments:
Post a Comment