Saturday, November 2, 2013

dzari'ah


Kata Pengantar

          Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga     Kepada kami baik nikmat iman maupun Islam. Sehingga, kami dapat menyusun makalah ini.
            Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah pada junjungan kita Nabi Allah Muhammad saw yang mana beliaulah tokoh revolusioner Islam yang telah mampu menuntun umatnya dari zaman jahiliyah menuju Islamiyah seperti yang kita rasakan saat ini dan yang insayallah kita nanti-nantikan syafa’atnya di yaumil kiyamah kelak amin.

           Dalam makalah tentang “Mukhkam dan Mutasyabih” ini, kami mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan ayat-ayat Mukhkamat dan ayat-ayat Mutasyabih.

Dalam penulisan makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tentunya masih banyak kekurangan. Hal itu disebabkan oleh kelemahan kami. Adapun kebaikan yang terdapat di dalamnya, tiada lain karena taufik dan hidayah dari Allah Swt.                                                         

                                                           
                                                                        Sukoharjo, 22 September 2012
                                                                                             Penulis



                                                                                            

     Kelompok IX




Pendahuluan

Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.



B.  Definisi Ushul Fiqh
           
             Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Kata ini muncul sebanyak 20 kali dalam al-Qur’an dengan arti paham itu, misalnya dalam (QS. Al-Kahfi : 93)
..... Èyy`ur ÆÏB $yJÎgÏRrߊ $YBöqs% žw tbrߊ%s3tƒ tbqßgs)øÿtƒ Zwöqs% ÇÒÌÈ  

...dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.

            Arti yafqahuna dalam ayat :”mereka memahami”.
            Arti fiqh dari segi istilah adalah “Ilmu tentang hukum-hukum syara’yang bersifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”.
            Kata “ushul”yang merupakan jamak dari kata “ashal”( أ صل) secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar yang lainya”. Dengan demikian “ushul fiqh“ secara istilah teknik hukum berarti: “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa pada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terperinci,” atau dalam artian sederhana adalah: “kaiadah-kaidah yang menjelaskan cara-cara menjeluarkan hukum-hukum dan dalil-dalinya”.
[PROF. DR. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1,(Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997) hlm.35].

             kitab-kitab ushul fiqh :
a.      Al-Mu’tamad karangan Muhammad Husayn ibn Ali Bashryi (wafat 463H)              
b.      Al-Burhan karangan Imam al-Haramayn (wafat 487H)
c.      Al-mustashfa karangan al-Ghazaliy (wafat 505H)

a.      Kitab Ushul Abu Bakar Ahmad al-Jashash (wafat 370H)
b.      Kitab Zayd ‘Ubayd Allahh ibn ‘Umar (wafat 430H)
c.      Kitab Syams al-A’immah ibn Ahmad al-Sarkhasyiy (wafat 483H)

Selain itu, adapula kitab-kitab yang ditulis menggunakan cara dua aliran tsb.
a.      Badi’ al-Nidham karangan Ahmad bin Ali al-Baghdadi (wafat 694H)

Kitab-kitab yang terkhir diantaranya
a.      Ushul al-fiqh karangan Syaikh Muhammad Khudlariy Bayk.

Buku ushul fiqh yang ditulis dalam bahasa indonesia antara lain:

a.      Ushul al-fiqh karangan A.Hanafi, M.A.
[PROF. DRs. H.A. DJAZULI & Dr. I. NUROL AEN, M.A. Ushul Fiqh Metodologi Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada 2000)hlm.7-12]

B. TUJUAN MEMPELAJARI USHUL FIQH
   
             Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk mengetahui hukum-hukum syari’at Islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan dzan (dugaan atau Perkiraan) dan untuk menghindari taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasarnya). Hal ini dapat berlaku, kalau memang benar-benar ushul fiqh ini digunakan sebagaimana mestinya,  yaitu mengambil hukum dari soal-soal cabang kepada yang pokok atau mengembalikan dari yang cabang kepada yang pokok. Yang pertama adalah perkerjaan ahli ijtihad (mujtahid) dan yang kedua adalah pekerjaan muttabi.

            Dengan adanya faedah tersebut, tertolaklah faham orang yang mengatakan, bahwa ushul fiqh, adalah pekerjaan orang-orang terdahulu saja dalam mencari ketentuan suatu hukum, dan bagi kita sekarang hanya mengikuti apa yang telah didapati mereka. Pendapat ini tidak benar, sebab ta’lid adalah pekerjaan yang harus kita hindari.
            Setidak-tidaknya kita harus bisa mencapai derajat ittiba’, yaitu mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dasarnya.
[A. Hanafie M. A. Ushul fiqh, (Jakarta:Widjaya 1981)hlm.13-14]
         


A.    PENGERTIAN DZRI’AH
            Secara etimologis, dzari’ah (الذَّرِيْعَة)berarti “jalan yang menuju sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751H/1292-1350H./ahli fiqh hanbali), mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada suatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya, pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum   sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang, disebut dengan sadd az-dzari’ah (سد الذريعة) dan yang dituntut untuk dilaksanakan, fath az-dzari’ahفطح الذ ر يعة) ).
            Di bawah ini akan dikemukakan uraian kedua bentuk dzari’ah dimaksud.[Drs. H. Nasrun Haroen, M.A. Ushul Fiqh (Jakarta:Logos Publising House 1996)hlm.160-161]


a.      Sadd al-Dzari’ah
            Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata al-dzari’ah berarti “wasilah”atau”jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd az-dzari’ah secara bahasa berarti”menutup jalan kepada suatu tujuan”. Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan


a.       ‘Abdul-Karim Zaidan, sadd az-dzari’ah berarti :
أنّه من باب منع الو سائل المؤ دية الى المفاسد
Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.[PROF. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2008)hlm.172]
b.      Menurut Imam Asy-Syatibi sadd adz-dzari’ah adalah :
Sadd adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir denga sesuatu kerusakan.    
التّوصّل بما هو مصلحة إلى مفسدة
“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada sesuatu kerusakan (kemafsadatan)”.
c.    Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. (Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347.)
d.      Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.( Al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul, loc. cit.)
 [http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/#_ftnref1]

Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia mengibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat islam merupakan perbuatan yang baik yang mengandung kemaslahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
Imam asy-Syatibi menyebutkan kriteria-kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:

1.      Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
2.      Kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan.
3.      Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya. (Wikipedia)

            Sedangkan sadd az-dzari’ah menurut para ahli ushul, adalah :
.............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
            “Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan sarana yang dapat menyampaikan kepada kerusakan.”

            Tujuan penetapan hukum atas dasar sadd az-dzari’ah ini ialah untuk menuju kemaslahatan. Karena tujuan umum ditetapkanya hukum pada mukallaf adalah untuk kemaslahatan mereka dan menjauhkan kerusakan. Untuk sampai tujuan itu adakalanyamelarang sesuatu. Dalam larangan ada sesuatu perbuatan yang dilarang langsungdan adapula yang harus melalui sarana.
            Dalam larangan ada perbuatan yang dilarang langsung karena perbuatan itu mendatangkan kerusakan, seperti melarang minuman khamr, berbuat zina adakalanya dilarang sekalipun perbuatan itu sendiri tidak langsung mendatangkan kerusakan, tetapi perbuatan itu menjadi jembatan terhadap perbuatan yang secara langsung menimbulakan kerusakan, misalnya menyimpan khamr atau berdua-duaan antara wanita dan laki-laki ditempat sunyi.
            Larangan terhadap sarana yang mendatangkan pada perbuatan yang dilarang itulah penetapan hukum berdasarkan pada sadd az-dzari’ah.


1.      Dasar Penetapan Sadd az-Dzari’ah

            Penetapan seperti ini dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya pada firman Allah surat al-An’am : 108   
Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ .................. ÇÊÉÑÈ   

. “dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan........
            Yang maksudnya Allah melarang kaum Muslimin memaki sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik/wasani, karena mereka nanti akan memaki-maki Allah dengan melampui batas. Demikian dalam surat an-Nur : 31
................ Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (.................. ÇÌÊÈ  

“................dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..................” yang maksudnya Allah melarang wanita-wanita menghentakkan kakinya diwaktu ia berjalan, karena itu akan jadi sarana menampakkan perhiasan emas mereka dan akan menimbulkangejolak hati laki-laki yang bukan haknya.
            Ibn Qayyim al-jauziyah dalam kitabnya “I’lam al-muwaqin” menyebutkan bahwa Nabi saw melarang membunuh orang munafik (sekalipun orang itu sangat berbahaya), untuk menghindari sesuatu yang akan menimbulkan orang banyak menjauhi nabi saw dan mereka berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.[ Drs. Zarkasji Abdul Salam & Dras. Oman Fathurohman SW. Pengantar Ilmu Fiqh Usul Fiqh,( Yogyakarta : Lembaga studi Filsafat Islam, 1994)hlm.123-124]
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”( Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, loc. cit.) [http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/#_ftnref1]

b.      Fadh al-Dzari’ah
Kebalikan dari sadd adz-dzari’ah adalah fath adz-dzari’ah. yaitu perbuatan yang pada mulanya mengandung kemafsadatan menuju kepada kemaslahatan.(Wikipedia)  
Hal ini karena titik tolak yang digunakan adalah adz-dzari’ah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, adz-dzari’ah memang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Adz-dzari’ah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd adz-dzari’ah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath adz-dzari’ah.[ Al-Qarafi, Anwar al-Buruq., op. cit., juz 3, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, loc. Cit ]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
Contoh dari fath adz-dzari’ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun adz-dzariah (sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.[ Al-Qarafi, Anwar al-Buruq., ibid.]      

Pembahasan tentang fath adz-dzariah tidak mendapat porsi yang banyak di kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath adz-dzariah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd adz-dzari’ah. Sementara sadd adz-dzari’ah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath hukum. Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah, masalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah masuk dalam bab penerapan kaidah:
 ماَ لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ  
Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[ Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 7, hal. 358]    
Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu yang lain itu pun haram, sesuai dengan kaidah:
مادلّ على حرام فهو حرام
“ segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun haram”. Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).(Wikipedia)

Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Apa yang dimaksudkan adz-dzari’ah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafi’i adalah sekedar muqaddimah.
[http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/#_ftnref1]












PENUTUP
Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.

Daftar Pustaka

Ø  Wikipedia
Ø  Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 7, hal. 358
Ø  Drs. Zarkasji Abdul Salam & Dras. Oman Fathurohman SW. Pengantar Ilmu Fiqh Usul Fiqh,( Yogyakarta : Lembaga studi Filsafat Islam, 1994)hlm.123-124
Ø  PROF. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2008)hlm.172
Ø  A. Hanafie M. A. Ushul fiqh, (Jakarta:Widjaya 1981)hlm.13-14
Ø  Drs. H. Nasrun Haroen, M.A. Ushul Fiqh (Jakarta:Logos Publising House 1996)hlm.160-161
Ø  PROF. DRs. H.A. DJAZULI & Dr. I. NUROL AEN, M.A. Ushul Fiqh Metodologi Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada 2000)hlm.7-12
Ø  PROF. DR. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1,(Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997) hlm.35


No comments:

Post a Comment

Comments system

Disqus Shortname