Saturday, November 2, 2013

makalah: ahmad bin hambal

 BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal
            Ahmad bin Muhammad bin Hanbal atau Ahmad bin Hanbal adalah Imam yang keempat dari para Fuqaha Islam[1]. Ibnu Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibnu Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition). karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan[2].         
A.1. Waktu dan tempat kelahiran Imam Ahmad ibn Hanbal
            Ahmad bin Hanbal dilahirkan di kota Bagdad, pada bulan Rabi’ul awal tahun 164 H (780 Masehi). Menurut riwayat, tempat kediaman ayah dan ibu beliau sebenarnya di kota Marwin[3]/Murwa[4], wilayah khurasan, tetapi dikala beliau masih dalam kandungan, kebetulan ayah dan ibunya pergi ke Bagdad, dan tiba-tiba disana melahirkan kandunganya.
            Dalam riwayat lain ada di ceritakan, bahwa beliau memang dilahirkan di kota Marwin, tetapi oleh ibunya lalu dibawa ke Bagdad, ketika beliau masih kecil, lalu disusukan dan diasuh disana. Tetapi, riwayat yang masyhur, ialah yang pertama.
            Ayah beliau meninggal dunia pada usia 30 tahun, saat beliau masih kanak-kanak, dan sejak saat itu ia hanya diasuh ibunya. 
A.2. Nama dan nasab-silsilah Imam Ahmad ibn Hanbal
            Beliau adalah Abu Abdullah ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyain bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dzahal Tsa’labah bin Akabah bin Sha’ab bin Ali bin Bakar bin Wa-il bin Qashid bin Afshy bin Damy bin Jadllah bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar bin Mu’ad bin Adnan[5], mendapat gelar Al-Mururi kemudian Al-Bagdadi[6], dan kalau diselidiki beliau masih punya silsilah yang bersambung pada Rosul saw. Pada Nizar, karena Mudhar bin Nizar adalah kakek Nabi yang kedelapan belas[7]. Menurut satu riwayat, ayahnya yang bernama  Muhammad asy-Syalbani menjabat sebagi walikota Sarkhas dan pendukung pemerintahan Abbasiyah, dan ibunya  Syafiyah binti Maimunah seorang wanita dari golongan terkemuka kaum Banu Amir[8].
A.3. Masa menuntut ilmu
            Ilmu yang pertama beliau kuasai adalah al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai berkonsentrasi belajar Ilmu Hadits pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia 16 tahun ia memperluas wawasan ilmu al-Quran dan ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Khufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah[9].
            Sebagaian dari pelajaranya ia pelajari dari Abu Yusuf, kemudian pada tahun 179 H beliau lebih gemar mempelajari hadits dan mengumpulkanya.
            Pengembaraannya yang pertama ialah Kufah, yaitu pada tahun 133 H dan pada tahun itu pula gurunya yang bernama Husyaim bin Busyair meninggal dunia. Kemudian beliu mengembara ke Basrah untuk pertama kalinya pada tahun 186 H, dan pada tahun 187 H pertama kali beliau mengerjakan haji[10].  
A.4. Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal
            Gurunya yang pertama Ibnu Hanbal adalah Abi Yusuf Yakub bin Ibrahim Al-Qadhi, seorang rekan Abu Hanifah. Beliau belajar ilmu fiqh dan hadits kepadanya, Abu Yusuf dianggap gurunya yang pertama.
            Sebagian dari ahli sejarah mengatakan bahwa pengaruh gurunya (Abu Yusuf) tidak begitu kuat sehingga dapat dikatakan beliau bukan guru pertama.mereka berpendapat gurunya yang pertama ialah Husyaim bin Basyir bin Abi Khasim Al-Wasiti, karena selama empat tahun beliau belajar hadits kepadanya, dan beliau menulis daripadanya lebih dari tiga ribu hadits.
                Husyaim adalah seorang imam hadits di Bagdad beliau seorang yang sangat bertakwa da wara’ dia juga banyak mendengar hadits dari imam-imam dan imam Malik, dan banyak orang yang meriwayatkan hadits darinya. Beliau sangat kuat ingatanya dilahirkan pada tahun 104 H dan meninggal pada tahun183 H.
            Di samping Ibnu Hanbal belajar dari Hasyim beliau belajar juga kepada Umair bin Abdullah, Abdur Rahman bin Mahdi dan Abi Bakar bin Iyasy[11].
            Imam Syafi’i salah seorang guru Imam Ibnu Hanbal. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i sebagai gurunya yang kedua sesudah Husyaim. Ibnu Hambal bertemu Imam Syafi’i di Hijaz, sewaktu beliau menunaikan fardhu Haji, Imam Syafi’i adalah seorang guru di masjid Al-Haram. Kemudian mereka bertemu kedua kalinya di Bagdad. Imam Syafi’i menginginkan agar ia dapat ikut bersamanya ke Mesir sebenarnya ia ingin ikut namun, keinginannya tidak tercapai. Tapi, ia sudah banyak mememahami ilmu yang di beikan Imam Syaf’i. Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah berkata : tidak diragukan bahwa Ahmad ibnu Hanbal adalah seorang murid dari Imam Syafi’i.
            Ibnu Hanbal pernah juga belajar kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya bin Al-Qattan, Wakie’ dan lain-lain. Beliau bercita-cita belajar kepada Malik bin Anas namun sayangnya ia sudah meninggal ketika ia awal-awal menuntut ilmu. Tapi, Allah menggantikannya dengan Sufyan bin Uyainah yang tinggal di Mekah. Sehingga beliau pernah berkata : Malik meninggal tetapi Allah mengganti Sufyan bin Uyainah untukku[12].
            Kemudian, pada usianya yang ke 40 tahun menjadi guru di masjid  Al-Jamii’ di Bagdad[13]. adapun beberapa muridnya yaitu : Yahya bin Adam, Abdur Rahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, Ali bin Al-Maldini, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zar’ah, Ar-Razi, Ad-Damasyqi, Ibrahim Al-Harbi, dll[14].
            Ibnu Hanbal mengahiri perjuanganya pada hari jum’at tanggal 12 bulan Rabul-Awwal tahun 241 H. Beliau di makamkan di Bagdad, dimana beliau meninggal. Mudah-mudahan Allah meridhainya[15].

















B. PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBAL

B.1.  Pemikiran Ahmad ibn Hanbal di bidang fiqh
                        Meskipun Ibnu Hanbal banyak membahas dan mengeluarkan fatwa dalam bidang fikih ,tidak ditemukan kitab-kitab fikih orisinil karya Ibnu Hanbal. Ibnu Hanbal memang tidak membukukan fatwa-fatwa fikihnya dan tidak pula mendiktekan fatwa-fatwa tersebut kepada murid-muridnya. Ini adalah kebijakan dan prinsip Ibnu Hanbal. Suatu ketika seseorang yang hadir dalam majelis Ibnu Hanbal mencatat fatwa-fatwanya. Ibnu Hanbal berkata: "Jangan kamu tulis pendapatku. Bisa saja aku berpendapat pada hari ini, lalu aku ubah besok". Warisan fikih Ibnu Hanbal diperoleh melalui aktivitas para murid dan pengikutnya yang diyakini sebagai presentasi dari pemikiran fikih Ibnu Hanbal.[16]
Pemikiran fikih Ibnu Hanbal sangat dipengaruhi oleh kedalaman pengetahuannya tentang hadis. Hadis menempati posisi sentral, di samping Alquran dalam mazhab fikihnya. Dia menentang keras pendapat yang berdasarkan kepada Alquran semata dengan mengabaikan hadis.
            Maka dari itu Ibnu Hanbal menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai sumber pertama dalam ilmu fiqhnya. Beliau tidak menerima adanya perselisihan antara Al-Qur’an dan As-Sunah. Kepada mereka yang berpegang dengan dzahir ayat-ayat Al-Qur’an dan meniggalkan As-Sunah beliau berkata : bahwa Allah SWT yang amat terpuji dan nama-nama-Nya yang Maha Suci, Mengutus Muhammad saw. Dengan petunjuk agama yang benar untuk mengatasi seluruh agama-agama yang lain walaupun ia dibenci oleh orang-orang kafir. Allah menurunkan kepadanya kitab (Al-Qur’an) yang mengadung petunjuk dan cahaya bagi mereka yang menurutinya. Juga Allah jadikan Rosul-Nya sebagai petunjuk atau penerang bagi kehendak-kehendak-Nya baik pada ‘am dan khasnya, juga pembatal dan yang dibatalkan menurut apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.[17]
            Abdul Wahab, salah seorang murid Imam Ahmad, menggambarkan keluasan pengetahuan Ahmad tentang hadis dan intensitas penggunaan hadis dalam fatwa-fatwa Imam Ahmad dengan berkata: "Saya belum pernah melihat orang seperti Ahmad. Dia ditanya mengenai 60.000 masalah, lalu dia jawab dengan haddatsana ahkbarana…."  Maksudnya Ahmad menjawab semua masalah tersebut dengan memakai hadis. Karena keteguhan dan intensitas Ahmad menggunakan hadis, maka mazhab fikihnya dikenal dengan mazhab fikih al-sunnah. Ahmad berprinsip bahwa fatwa harus berdasarkan dalil-dalil yang bisa diterima dan di pertanggung jawabkan. Dia menentang fatwa tanpa dasar yang kuat atau fatwa yang berdasarkan pemikiran saja. Ahmad menasihati murid-muridnya: :jauhilah memberi fatwa dalam masalah yang tidak ada tuntutannya". Abu Bakar al-Marwazy –murid Ahmad–pernah menanyakan suatu masalah yang belum jelas bagi Ahmad sendiri. Ahmad secara terus terang menjawab: "saya belum mengetahui". Ahmad memiliki metode sendiri dalam menginstimbathkan hukum.[18] Dari beberapa ungkapan di atas kita dapat pahami bahwa Al-Qur’an adalah sumber yang pertama dan penafsirnya adalah As-Sunah dan ia adalah sumber yang kedua. Sesudah itu  diambil perkataan para sahabat dan fatwanya, tetapi kadangkala ia juga mengambil kias dan ijma’, kemudian al-Masalihul Mursalah, dan Sadduz Zara’i yaitu apabila tadak ada nash yang mengatakan halal/haram bagi sesuatu maka perkara itu tetap dengan halalnya.
            Ibnu Hanbal menggunakan hadits dho’if apabila tidak ada yang lain, tetapi dengan syarat tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama dan juga bertentangan dengan salah satu hukum yang ditetapkan oleh hadits yang shahih.[19]  
B.2.  Pemikiran Ahmad ibn Hanbal di bidang hadits
            Imam ibn Hanbal adalah seorang yang sangat cinta kepada Nabi saw. Sebagai buktinya, beliau pergi ke berbagai negri yaitu untuk mencari orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi saw.
            Imam bin Hanbal amat keras terhadap orang-orang yang mengaku Muslim, tetapi berani mengerjakan bid’ah di dalam agamanya. Juga sering kali beliau membicarakan orang-orang yang katanya ulama, tapi perbuatan yang dikerjakan banyak menyalahi sunah Nabi saw. Imam Malik bin Maimun pernah berkata :”kedua mataku belum pernah melihat orang yang lebih utama daripada Imam Ahmad bin Hanbal; dan aku belum pernah melihat seorang dari ahli hadits yang begitu taat kepada hukum-hukum Allah dan sunah Rosul-Nya - apabila telah sah, terang daripadanya – dan lebih kokoh mengikut sunah dari padanya.
 Perkataan Imam bin Hanbal tentang hadits Nabi saw yaitu Imam Ahmad berkata : barangsiapa menolak akan hadits Rosulullah saw. Maka ia dengan sendirinya telah di tepi kebinasaan. [20]     
B.3.  Pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal di bidan Teologi
            a. Tentang ayat-ayat mutasyabihat
            dalam memahami ayat Al-Qur’an Ibnu Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdi (tektual) dari pada pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Qur’an yang mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiyat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran QS. Thaha : 5
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ    
Artinya : (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.
            Dalam hal ini, Ibnu Hanbal menjawab :
اِسْتَوَى عَلَى العَرْشِ كَيفَ شَاءَ وَكَمَا شَاءَ بِلَا حَدٍّ وَلَا صِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ 
Artinya : Istiwa diatas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan seorang pun yang sanggup mensifatinya.
Dan dalam menanggapi hadits Nuzul(Tauhan Turun ke langit dunia), ru’yah(orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits tetang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata : kita mengimani dan membenarkanya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.
            Dari pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rosul-Nya serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.
b. Tentang status Al-Qur’an
salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibnu Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status Al-Qur’an, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim ?
Faham yang diakui pemerintah, yakni Bani Abbasiyah dibawah kepemimpinan khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qodim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibnu Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena itu, oleh karena itu kemudian ia diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandanganya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak :
Ishaq bertanya             : bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an ?
Ibnu Hanbal                : ia adalah kalam Allah.
Ishaq                           : apakah ia makhluk ?
Ibnu Hanbal                : ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq                           : apakah arti bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat ?
Ibnu Hanbal                : itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq                           : apakah maksudnya ?
Ibnu Hanbal                : aku tidak tahu, Dia seperti apa yang disifatkan kepada diri-Nya.
            Berdasarkan dialog diatas, Ibnu Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Bagi Ibnu Hanbal, imam adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan.[21]























BAB III
Pengaruh Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal
A. Munculnya aliran Salaf
            Aliran mu’tazilah mencapai puncaknya pada masa kepemimipinan khalifah al-Makmun dari Bani Abbas, pada masa itu aliran ini mengampanyekan pemikiran bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”. Semua rakyat dan ulama dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut, namun ada salah satu ulama yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah ImamAhmad bin Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa dan masuk penjara.
            Pemikiran-pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian pemikiranya di formulasikan secara lebih lengkap oleh Imam ibn Taimiyah. Sebagai aliran Asy’ariyah, aliran salaf  memberika reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim mu’tazilah.   
            Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi “terdahulu” atau “leluhur” menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf juga bisa berarti para ulama saleh yang hidup tiga abad tiga pertama Islam.
            Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya adalah :
Ø  Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) .
Ø  Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf adalah sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagunka-Nya.
Pada zaman modern, kata salaf memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarawan, merujuk pada “aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari Eropa, dan orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang telah dibawa Rosulullah serta menjauhi berbagai ke bid’ahan, khurafat, syirik dalam agama Islam. Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode rasional, aliran menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai macam persoalan agamater masuk didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak cocokan antara riwayat yang ada dengan akal sehat.
            W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerusalem dan Damaskus. Di Damaskus, kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang sebabkan serangan dari Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat keluarga dari Harran, yaitu keluarga ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama besar penganut imam Hanbali yang ketat.
Beberapa karakteristik aliran Salaf :
1.      Mendahulukan dalil naqli daripada aqli
2.      Dalam persoalan agama hanya berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah
3.      Mengimani Allah tanpa perenungan dan tidak berpaham anthropomorphisme (menyerupan Allah dengan makhluk)
4.      Megartikan ayat-ayat al-Qur’an sesuai lahirnya tanpa menta’wilnya.
Beberapa tokoh ulama salaf, yaitu Abdullah bin abbas (68H), Abdullah bin Umar (74H), Umar bin Abdul Al-Aziz (101H), Az-Zuhri (124H), Ja’far Ash-Shadiq (148H), dan empat imam madzhab.
            Pada hakekatnya madzhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam bin Hanbal. Atau dengan reaksi lain, madzhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi pertama gerakan Salafiyah ini.[22]










BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
            Dari apa yang kami paparkan diatas kami dapat menyimpulkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal adalah Imam ke-empat dari empat imam madzhab beliau adalah seorang yang begitu rajin dalam menuntut ilmu dan beliaulah yang mendasari lahirnya aliran salafiyah, beliau adalah seorang yang ahli dalam bidang hadits dan fiqh.
            Beliau adalah ulama yang sangat menentang pemikiran Mu’tazilah maka dari itu beliau banyak mendapatkan hukuman pada masa kekhalifahan saat itu, dari situlah banyak orang yang menjadi pembelanya dan mengikuti pemikirannya kemudian munculah madzhab Hanbali dan gerakan Salaf.   

             









No comments:

Post a Comment

Comments system

Disqus Shortname