BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal
Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal atau Ahmad bin Hanbal adalah Imam yang keempat dari
para Fuqaha Islam[1]. Ibnu Hanbal
dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta
dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab
Mu’tazilah, Ibnu Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition). karena tidak
mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada masa pemerintahan
Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah
Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan
kemuliaan[2].
A.1.
Waktu dan tempat kelahiran Imam Ahmad ibn Hanbal
Ahmad
bin Hanbal dilahirkan di kota Bagdad, pada bulan Rabi’ul awal tahun 164 H (780
Masehi). Menurut riwayat, tempat kediaman ayah dan ibu beliau sebenarnya di
kota Marwin[3]/Murwa[4], wilayah khurasan, tetapi dikala
beliau masih dalam kandungan, kebetulan ayah dan ibunya pergi ke Bagdad, dan
tiba-tiba disana melahirkan kandunganya.
Dalam
riwayat lain ada di ceritakan, bahwa beliau memang dilahirkan di kota Marwin,
tetapi oleh ibunya lalu dibawa ke Bagdad, ketika beliau masih kecil, lalu
disusukan dan diasuh disana. Tetapi, riwayat yang masyhur, ialah yang pertama.
Ayah
beliau meninggal dunia pada usia 30 tahun, saat beliau masih kanak-kanak, dan
sejak saat itu ia hanya diasuh ibunya.
A.2. Nama dan nasab-silsilah Imam Ahmad
ibn Hanbal
Beliau
adalah Abu Abdullah ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris
bin Abdullah bin Hayyain bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin
Syaiban bin Dzahal Tsa’labah bin Akabah bin Sha’ab bin Ali bin Bakar bin Wa-il
bin Qashid bin Afshy bin Damy bin Jadllah bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar bin
Mu’ad bin Adnan[5], mendapat gelar Al-Mururi kemudian Al-Bagdadi[6],
dan kalau diselidiki beliau masih punya silsilah yang bersambung pada Rosul
saw. Pada Nizar, karena Mudhar bin Nizar adalah kakek Nabi yang kedelapan belas[7]. Menurut satu
riwayat, ayahnya yang bernama Muhammad asy-Syalbani menjabat sebagi walikota Sarkhas dan pendukung
pemerintahan Abbasiyah, dan ibunya Syafiyah binti Maimunah seorang
wanita dari golongan terkemuka kaum Banu Amir[8].
A.3.
Masa menuntut ilmu
Ilmu yang pertama beliau kuasai adalah
al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai
berkonsentrasi belajar Ilmu Hadits pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia 16
tahun ia memperluas wawasan ilmu al-Quran dan ilmu agama lainnya kepada
ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Khufah, Basrah,
Syam, Yaman, Mekah dan Madinah[9].
Sebagaian dari pelajaranya ia
pelajari dari Abu Yusuf, kemudian pada tahun 179 H beliau lebih gemar
mempelajari hadits dan mengumpulkanya.
Pengembaraannya yang pertama ialah
Kufah, yaitu pada tahun 133 H dan pada tahun itu pula gurunya yang bernama
Husyaim bin Busyair meninggal dunia. Kemudian beliu mengembara ke Basrah untuk
pertama kalinya pada tahun 186 H, dan pada tahun 187 H pertama kali beliau
mengerjakan haji[10].
A.4.
Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal
Gurunya yang pertama Ibnu Hanbal adalah
Abi Yusuf Yakub bin Ibrahim Al-Qadhi, seorang rekan Abu Hanifah. Beliau belajar
ilmu fiqh dan hadits kepadanya, Abu Yusuf dianggap gurunya yang pertama.
Sebagian dari ahli sejarah
mengatakan bahwa pengaruh gurunya (Abu Yusuf) tidak begitu kuat sehingga dapat
dikatakan beliau bukan guru pertama.mereka berpendapat gurunya yang pertama
ialah Husyaim bin Basyir bin Abi Khasim Al-Wasiti, karena selama empat tahun
beliau belajar hadits kepadanya, dan beliau menulis daripadanya lebih dari tiga
ribu hadits.
Husyaim adalah seorang imam hadits di Bagdad beliau seorang yang sangat
bertakwa da wara’ dia juga banyak mendengar hadits dari imam-imam dan imam
Malik, dan banyak orang yang meriwayatkan hadits darinya. Beliau sangat kuat
ingatanya dilahirkan pada tahun 104 H dan meninggal pada tahun183 H.
Di samping Ibnu Hanbal belajar dari
Hasyim beliau belajar juga kepada Umair bin Abdullah, Abdur Rahman bin Mahdi
dan Abi Bakar bin Iyasy[11].
Imam Syafi’i salah seorang guru Imam
Ibnu Hanbal. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i sebagai gurunya yang
kedua sesudah Husyaim. Ibnu Hambal bertemu Imam Syafi’i di Hijaz, sewaktu beliau
menunaikan fardhu Haji, Imam Syafi’i adalah seorang guru di masjid Al-Haram.
Kemudian mereka bertemu kedua kalinya di Bagdad. Imam Syafi’i menginginkan agar
ia dapat ikut bersamanya ke Mesir sebenarnya ia ingin ikut namun, keinginannya
tidak tercapai. Tapi, ia sudah banyak mememahami ilmu yang di beikan Imam
Syaf’i. Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah berkata : tidak diragukan bahwa Ahmad
ibnu Hanbal adalah seorang murid dari Imam Syafi’i.
Ibnu Hanbal pernah juga belajar
kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya bin Al-Qattan, Wakie’ dan lain-lain. Beliau
bercita-cita belajar kepada Malik bin Anas namun sayangnya ia sudah meninggal
ketika ia awal-awal menuntut ilmu. Tapi, Allah menggantikannya dengan Sufyan
bin Uyainah yang tinggal di Mekah. Sehingga beliau pernah berkata : Malik
meninggal tetapi Allah mengganti Sufyan bin Uyainah untukku[12].
Kemudian,
pada usianya yang ke 40 tahun menjadi guru di masjid Al-Jamii’ di Bagdad[13]. adapun
beberapa muridnya yaitu : Yahya bin Adam, Abdur Rahman bin Mahdi, Yazid bin Harun,
Ali bin Al-Maldini, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zar’ah, Ar-Razi,
Ad-Damasyqi, Ibrahim Al-Harbi, dll[14].
Ibnu Hanbal mengahiri perjuanganya
pada hari jum’at tanggal 12 bulan Rabul-Awwal tahun 241 H. Beliau di makamkan
di Bagdad, dimana beliau meninggal. Mudah-mudahan Allah meridhainya[15].
B.
PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBAL
B.1.
Pemikiran Ahmad ibn Hanbal di bidang
fiqh
Meskipun
Ibnu Hanbal banyak membahas dan mengeluarkan fatwa dalam bidang fikih ,tidak
ditemukan kitab-kitab fikih orisinil karya Ibnu Hanbal. Ibnu Hanbal memang
tidak membukukan fatwa-fatwa fikihnya dan tidak pula mendiktekan fatwa-fatwa
tersebut kepada murid-muridnya. Ini adalah kebijakan dan prinsip Ibnu Hanbal. Suatu
ketika seseorang yang hadir dalam majelis Ibnu Hanbal mencatat fatwa-fatwanya.
Ibnu Hanbal berkata: "Jangan kamu tulis pendapatku. Bisa saja aku
berpendapat pada hari ini, lalu aku ubah besok". Warisan fikih Ibnu Hanbal
diperoleh melalui aktivitas para murid dan pengikutnya yang diyakini sebagai
presentasi dari pemikiran fikih Ibnu Hanbal.[16]
Pemikiran fikih Ibnu
Hanbal sangat dipengaruhi oleh kedalaman pengetahuannya tentang hadis. Hadis
menempati posisi sentral, di samping Alquran dalam mazhab fikihnya. Dia
menentang keras pendapat yang berdasarkan kepada Alquran semata dengan
mengabaikan hadis.
Maka dari itu Ibnu Hanbal menjadikan
Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai sumber pertama dalam ilmu fiqhnya. Beliau tidak
menerima adanya perselisihan antara Al-Qur’an dan As-Sunah. Kepada mereka yang
berpegang dengan dzahir ayat-ayat Al-Qur’an dan meniggalkan As-Sunah beliau
berkata : bahwa Allah SWT yang amat terpuji dan nama-nama-Nya yang Maha Suci,
Mengutus Muhammad saw. Dengan petunjuk agama yang benar untuk mengatasi seluruh
agama-agama yang lain walaupun ia dibenci oleh orang-orang kafir. Allah
menurunkan kepadanya kitab (Al-Qur’an) yang mengadung petunjuk dan cahaya bagi
mereka yang menurutinya. Juga Allah jadikan Rosul-Nya sebagai petunjuk atau
penerang bagi kehendak-kehendak-Nya baik pada ‘am dan khasnya, juga pembatal
dan yang dibatalkan menurut apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.[17]
Abdul
Wahab, salah seorang murid Imam Ahmad, menggambarkan keluasan pengetahuan Ahmad
tentang hadis dan intensitas penggunaan hadis dalam fatwa-fatwa Imam Ahmad
dengan berkata: "Saya belum pernah melihat orang seperti Ahmad. Dia
ditanya mengenai 60.000 masalah, lalu dia jawab dengan haddatsana … ahkbarana…." Maksudnya Ahmad menjawab semua masalah
tersebut dengan memakai hadis. Karena keteguhan dan intensitas Ahmad
menggunakan hadis, maka mazhab fikihnya dikenal dengan mazhab fikih al-sunnah.
Ahmad berprinsip bahwa fatwa harus berdasarkan dalil-dalil yang bisa diterima
dan di pertanggung jawabkan. Dia menentang fatwa tanpa dasar yang kuat atau
fatwa yang berdasarkan pemikiran saja. Ahmad menasihati murid-muridnya:
:jauhilah memberi fatwa dalam masalah yang tidak ada tuntutannya". Abu
Bakar al-Marwazy –murid Ahmad–pernah menanyakan suatu masalah yang belum jelas
bagi Ahmad sendiri. Ahmad secara terus terang menjawab: "saya belum
mengetahui". Ahmad memiliki metode sendiri dalam menginstimbathkan hukum.[18]
Dari beberapa ungkapan di atas kita dapat pahami bahwa Al-Qur’an adalah sumber
yang pertama dan penafsirnya adalah As-Sunah dan ia adalah sumber yang kedua. Sesudah
itu diambil perkataan para sahabat dan
fatwanya, tetapi kadangkala ia juga mengambil kias dan ijma’, kemudian
al-Masalihul Mursalah, dan Sadduz Zara’i yaitu apabila tadak ada nash yang
mengatakan halal/haram bagi sesuatu maka perkara itu tetap dengan halalnya.
Ibnu
Hanbal menggunakan hadits dho’if apabila tidak ada yang lain, tetapi dengan
syarat tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama dan juga bertentangan
dengan salah satu hukum yang ditetapkan oleh hadits yang shahih.[19]
B.2.
Pemikiran Ahmad ibn Hanbal di bidang
hadits
Imam ibn Hanbal adalah seorang yang sangat
cinta kepada Nabi saw. Sebagai buktinya, beliau pergi ke berbagai negri yaitu
untuk mencari orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi saw.
Imam bin Hanbal amat keras terhadap
orang-orang yang mengaku Muslim, tetapi berani mengerjakan bid’ah di dalam
agamanya. Juga sering kali beliau membicarakan orang-orang yang katanya ulama,
tapi perbuatan yang dikerjakan banyak menyalahi sunah Nabi saw. Imam Malik bin
Maimun pernah berkata :”kedua mataku belum pernah melihat orang yang lebih
utama daripada Imam Ahmad bin Hanbal; dan aku belum pernah melihat seorang dari
ahli hadits yang begitu taat kepada hukum-hukum Allah dan sunah Rosul-Nya -
apabila telah sah, terang daripadanya – dan lebih kokoh mengikut sunah dari
padanya.
Perkataan Imam bin Hanbal tentang hadits Nabi
saw yaitu Imam Ahmad berkata : barangsiapa menolak akan hadits Rosulullah saw.
Maka ia dengan sendirinya telah di tepi kebinasaan. [20]
B.3.
Pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal di bidan
Teologi
a. Tentang ayat-ayat mutasyabihat
dalam memahami ayat Al-Qur’an Ibnu
Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdi (tektual) dari pada pendekatan
ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Qur’an yang mutasyabihat diartikan sebagaimana
adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiyat) dari ayat tersebut
diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran QS. Thaha
: 5
ß`»oH÷q§9$#
n?tã
ĸöyèø9$#
3uqtGó$#
ÇÎÈ
Artinya :
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.
Dalam hal ini, Ibnu Hanbal menjawab
:
اِسْتَوَى عَلَى العَرْشِ كَيفَ
شَاءَ وَكَمَا شَاءَ بِلَا حَدٍّ وَلَا صِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ
Artinya : Istiwa
diatas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan
tiada batas dan seorang pun yang sanggup mensifatinya.
Dan dalam menanggapi
hadits Nuzul(Tauhan Turun ke langit dunia), ru’yah(orang-orang beriman melihat
Tuhan di akhirat), dan hadits tetang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata :
kita mengimani dan membenarkanya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.
Dari pernyataan di atas tampak bahwa
Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits
mutasyabihat kepada Allah dan Rosul-Nya serta tetap mensucikan-Nya dari
keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian
lahirnya.
b.
Tentang status Al-Qur’an
salah
satu persoalan teologis yang dihadapi Ibnu Hanbal, yang kemudian membuatnya
dipenjara beberapa kali, adalah tentang status Al-Qur’an, apakah diciptakan
(makhluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya
qodim ?
Faham
yang diakui pemerintah, yakni Bani Abbasiyah dibawah kepemimpinan khalifah
al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham mu’tazilah, yakni Al-Qur’an
tidak bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qodim disamping
Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dosa
besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibnu
Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena itu, oleh
karena itu kemudian ia diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah.
Pandanganya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq
bin Ibrahim, Gubernur Irak :
Ishaq bertanya : bagaimana pendapatmu tentang
Al-Qur’an ?
Ibnu Hanbal : ia adalah kalam Allah.
Ishaq : apakah ia makhluk ?
Ibnu Hanbal : ia adalah kalam Allah, aku
tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq : apakah arti bahwa
Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat ?
Ibnu Hanbal : itu seperti apa yang Dia
sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq : apakah maksudnya ?
Ibnu Hanbal : aku tidak tahu, Dia seperti
apa yang disifatkan kepada diri-Nya.
Berdasarkan dialog diatas, Ibnu
Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya
mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Bagi Ibnu Hanbal, imam adalah
perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah dengan melakukan
perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan.[21]
BAB
III
Pengaruh
Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal
A. Munculnya aliran Salaf
Aliran mu’tazilah mencapai puncaknya
pada masa kepemimipinan khalifah al-Makmun dari Bani Abbas, pada masa itu
aliran ini mengampanyekan pemikiran bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”. Semua
rakyat dan ulama dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut, namun ada salah
satu ulama yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah ImamAhmad
bin Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa dan masuk
penjara.
Pemikiran-pemikiran Imam Ahmad bin
Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari
pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian pemikiranya di formulasikan
secara lebih lengkap oleh Imam ibn Taimiyah. Sebagai aliran Asy’ariyah, aliran
salaf memberika reaksi yang keras
terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim mu’tazilah.
Kata salaf secara etimologi dapat
diterjemahkan menjadi “terdahulu” atau “leluhur” menurut Thablawi Mahmud Sa’ad,
salaf artinya ulama terdahulu. Salaf juga bisa berarti para ulama saleh yang
hidup tiga abad tiga pertama Islam.
Sedangkan menurut terminologi
terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf,
diantaranya adalah :
Ø
Menurut As-Syahrastani, ulama salaf
adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat)
.
Ø
Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa
salaf adalah sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari
sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang
menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagunka-Nya.
Pada zaman modern,
kata salaf memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang pertama,
digunakan oleh akademisi dan sejarawan, merujuk pada “aliran pemikiran yang
muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran
ide-ide dari Eropa, dan orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang
telah dibawa Rosulullah serta menjauhi berbagai ke bid’ahan, khurafat, syirik
dalam agama Islam. Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan
metode rasional, aliran menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk
dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai macam persoalan
agamater masuk didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk
menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki
wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk membenarkan, menela’ah dan
menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak cocokan antara riwayat yang ada
dengan akal sehat.
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa
gerakan salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu
terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali.
Sebelum akhir abad itu terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerusalem dan
Damaskus. Di Damaskus, kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi
dari Irak yang sebabkan serangan dari Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi
itu terdapat keluarga dari Harran, yaitu keluarga ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah
adalah seorang ulama besar penganut imam Hanbali yang ketat.
Beberapa
karakteristik aliran Salaf :
1.
Mendahulukan dalil naqli daripada aqli
2.
Dalam persoalan agama hanya berpedoman
pada al-Kitab dan as-Sunnah
3.
Mengimani Allah tanpa perenungan dan
tidak berpaham anthropomorphisme (menyerupan Allah dengan makhluk)
4.
Megartikan ayat-ayat al-Qur’an sesuai
lahirnya tanpa menta’wilnya.
Beberapa tokoh
ulama salaf, yaitu Abdullah bin abbas (68H), Abdullah bin Umar (74H), Umar bin
Abdul Al-Aziz (101H), Az-Zuhri (124H), Ja’far Ash-Shadiq (148H), dan empat imam
madzhab.
Pada hakekatnya madzhab Salafiyah
ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam bin Hanbal. Atau dengan
reaksi lain, madzhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi
pertama gerakan Salafiyah ini.[22]
BAB
IV
Penutup
A.
Kesimpulan
Dari apa yang kami paparkan diatas
kami dapat menyimpulkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal adalah Imam ke-empat dari
empat imam madzhab beliau adalah seorang yang begitu rajin dalam menuntut ilmu
dan beliaulah yang mendasari lahirnya aliran salafiyah, beliau adalah seorang
yang ahli dalam bidang hadits dan fiqh.
Beliau adalah ulama yang sangat
menentang pemikiran Mu’tazilah maka dari itu beliau banyak mendapatkan hukuman
pada masa kekhalifahan saat itu, dari situlah banyak orang yang menjadi
pembelanya dan mengikuti pemikirannya kemudian munculah madzhab Hanbali dan
gerakan Salaf.
No comments:
Post a Comment